Sate adalah salah satu kuliner paling populer di Indonesia, dengan berbagai varian yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Namun, ada satu jenis sate yang tak hanya kaya rasa, tetapi juga sarat makna: Sate Maranggi. Berasal dari daerah Purwakarta, Jawa Barat, hidangan ini menawarkan lebih dari sekadar daging yang dibakar. Ia menyimpan sejarah, nilai budaya, dan filosofi hidup masyarakat Sunda.
Asal Usul Nama dan Sejarah Sate Maranggi
Sate Maranggi mulai dikenal sejak era 1960-an. Berdasarkan sejumlah sumber, kuliner ini dipopulerkan oleh seorang penjual bernama Emak Ranggi yang tinggal di daerah Cianting, Purwakarta. Warga setempat menyapanya sebagai “Mak Ranggi”, dan dari situlah muncul nama “Maranggi” yang kini digunakan secara luas.
Berbeda dari sate-sate lain yang lazim disajikan dengan bumbu kacang atau kecap manis, Sate Maranggi justru mengandalkan kekuatan bumbu rendam. Daging sapi atau kambing direndam terlebih dahulu dalam campuran rempah.
Adapun rempah yang digunakan seperti ketumbar, bawang putih, lengkuas, jahe, dan sedikit cuka. Setelah bumbu meresap, daging kemudian dibakar tanpa tambahan saus, sehingga rasa alami bumbunya tetap dominan.
Tiga Potong Daging dan Filosofi Sate Maranggi
Salah satu keunikan paling mencolok dari Sate Maranggi adalah jumlah potongan daging dalam setiap tusuknya. Biasanya, satu tusuk selalu berisi tiga potong daging. Ini bukan sekadar porsi, melainkan simbol dari filosofi Sate Maranggi yang sangat dijunjung dalam budaya Sunda, yaitu Tri Tangtu.
Tri Tangtu adalah konsep yang terdiri dari tiga nilai utama:
- Tekad, yang berarti niat atau kemauan kuat.
- Ucap, yang merujuk pada pentingnya berkata baik dan jujur.
- Lampah, yaitu tindakan nyata yang selaras dengan niat dan ucapan.
Dalam konteks kuliner, filosofi ini menggambarkan bahwa makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga proses dan makna yang menyertainya. Filosofi Sate Maranggi ini menjadikan satu tusuk sate sebagai pengingat nilai hidup sederhana namun mendalam.
Penyajian Khas dan Pengakuan Nasional
Sate Maranggi juga dikenal karena variasi pendampingnya. Di Purwakarta, sate ini biasa disajikan dengan sambal tomat dan acar segar. Sementara di Cianjur, biasanya disajikan bersama ketan bakar dan sambal oncom yang memberi dimensi rasa tambahan.
Karena keunikannya, Sate Maranggi ditetapkan sebagai ikon kuliner tradisional Indonesia oleh Kemenparekraf pada 14 Desember 2012. Pada tahun 2022, kuliner ini juga masuk daftar sate terenak secara nasional versi berbagai festival kuliner.
Lebih dari Sekadar Sate
Dengan bumbu yang meresap, penyajian khas, dan makna di balik tiga potong dagingnya, Sate Maranggi tidak hanya menggoyang lidah, tetapi juga menyentuh nilai-nilai kehidupan.
Filosofi Sate Maranggi adalah pengingat bahwa makanan bisa menjadi cermin budaya, nilai, bahkan karakter masyarakat yang menciptakannya.