Ketika kita memasuki sebuah rumah makan Padang, ada hal yang langsung mencuri perhatian. Selain deretan lauk menggoda selera dan aroma rempah yang menguar, Anda bisa melihat manatiang piriang. Istilah ini merujuk pada cara pelayan membawa tumpukan piring seakan tanpa beban untuk Anda yang makan di restoran Padang (dine in).
Tradisi ini bukan sekadar atraksi, melainkan wujud nyata dari keahlian khas yang dikenal dimiliki oleh rumah makan Padang. Seperti apa unique selling point dari khasanah kuliner lokal dari ranah Minang ini?
Manatiang Piriang Lebih dari Sekadar Penyajian Cepat
Di balik cepatnya sajian makanan di rumah makan Padang, terdapat keterampilan unik yang menjadi bagian dari budaya Minangkabau. Inilah dia manatiang piriang yang berarti “mengangkat piring” dalam bahasa Minang.
Tapi mengangkat piring ini bukan sekadar teknik membawa lauk lho! Lebih dalam lagi cara membawa piring ini mencerminkan ketangkasan, efisiensi, serta filosofi pelayanan yang menghormati tamu.
Asal-Usul dan Teknik Dasar Manatiang Piriang
Manatiang piriang berasal dari tradisi masyarakat Minangkabau, khususnya dalam acara adat saat menjamu tamu. Dalam konteks rumah makan Padang, teknik ini berkembang menjadi bagian dari identitas restoran.
Pramusaji menggunakan lengan kiri untuk membawa tumpukan piring berisi aneka lauk, bisa mencapai 13 jenis dalam dua hingga tiga lapisan. Sementara tangan kanan mereka digunakan untuk menyusun piring ke atas meja secara cepat dan presisi.
Menurut laporan SINDOnews (5 Januari 2020), seorang tatiang andal bahkan mampu membawa hingga 25 piring sekaligus di kedua tangan. Tapi hal ini tidak mengurangi kelincahan gerak.
Manatiang Piriang Perlu Waktu untuk Mahir
Berdasarkan sumber, dibutuhkan dua hingga tiga tahun untuk menguasai teknik ini dengan baik. Dalam prosesnya, pelayan harus berlatih mulai dari membawa lima piring kecil, bertahap hingga puluhan piring.
Jika ada piring yang jatuh saat latihan, maka harus diganti dengan uang pribadi. Cara ini benar-benar menunjukkan sebuah bentuk kedisiplinan dan tanggung jawab yang tinggi.
Filosofi di Balik Tradisi
Tradisi ini bukan hanya soal efisiensi atau atraksi. Dalam buku Cita Rasa Nusantara karya William Wongso, disebutkan bahwa penyajian seluruh menu di hadapan tamu adalah simbol kesetaraan.
Tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin. Sebuah contoh bagaimana rumah makan Padang mengajarkan semua adalah egaliter. Semua diberi kesempatan memilih lauk sesuai selera, tanpa batasan. Kecepatan penyajian juga menjadi bentuk penghormatan, bahwa tamu tidak boleh menunggu terlalu lama untuk makan.
Tradisi yang Mulai Langka
Meski masih bisa dijumpai di beberapa tempat, manatiang piriang mulai langka karena tergantikan oleh rak beroda atau nampan. Alasan utamanya adalah efisiensi dan pengurangan risiko kecelakaan kerja.
Namun, beberapa pelanggan justru menganggap rumah makan yang masih mempraktikkan manatiang piriang sebagai indikator keaslian masakan Padang. Sebuah pengalaman makan yang terasa lebih hidup dan otentik.
Warna, Aroma, dan Sentuhan Filosofis
Ketika piring-piring itu diturunkan ke meja, yang hadir adalah parade warna dan aroma: sambal merah menyala, gulai kuning, rendang cokelat pekat, hingga daun-daun hijau segar. Pemandangan ini menggoda selera dan sekaligus merefleksikan keragaman rasa khas Sumatera Barat.
Dalam wawancara dengan Liputan6.com, pendiri Restoran Sederhana, Hasril Chaniago, juga menekankan bahwa teknik ini menjadi citra restoran Padang yang tanggap dan profesional.
Selain itu, cara ini sekaligus menunjukkan bahwa makanan tetap higienis meski ditumpuk, karena bagian bawah piring tetap bersih.
Menjaga Warisan dalam Setiap Sajian
Manatiang piriang adalah lebih dari sekadar teknik membawa piring. Ia adalah warisan budaya yang mencerminkan nilai, disiplin, kecepatan, dan kesetaraan dalam pelayanan makanan.
Ketika pelan-pelan mulai ditinggalkan, ada baiknya kita menyadari bahwa tradisi ini pantas dirawat. Tradisi yang juga menjadi simbol keramahan dan keragaman budaya kuliner Indonesia.