Kisah Bakery Legendaris Tan Ek Tjoan Tak Lekang oleh Zaman

Ada sebuah brand bakery legendaris yang telah berdiri sejak tahun 1921. Namanya adalah Tan Ek Tjoan. Merek ini dapat dikatakan sebagai salah satu brand roti tertua yang ada di Indonesia.

Kisah Tan Ek Tjoan diawali oleh seorang pemuda keturunan Tionghoa yang memulai langkah usahanya di Bogor. Tepatnya ia menjalankan bisnis di jalan Surya Kencana. Semenjak itulah bisnis bakery legendaris miliknya terus berkembang pesat.

Keunikan yang paling mudah ditemui dari produk Tan Ek Tjoan adalah tekstur rotinya yang keras. Inilah yang menjadi pembeda dari merek lain.

Baca juga: Yuk Kenalan dengan The Wheat Toko Roti Jadul Legendaris

Tan Ek Tjoan Digemari Oleh Tokoh Besar

Animo terhadap aneka roti besutan Tan Ek Tjoan bukan saja datang dari masyarakat biasa namun juga ada tokoh besar bangsa Indonesia. Dilansir dari Historia.Id, Bung Hatta termasuk salah satu tokoh besar yang pernah merasakan roti dari bakery legendaris ini.

Sebagaimana dikisahkan oleh Mangil Martowidjojo di dalam Kesaksian Tentang Bung Karno, saat perjalanan dari Jakarta ke Megamendung, Bung Hatta menghentikan perjalanannya di depan Toko Roti Tan Ek Tjoan, Bogor.

Beliau kemudian meminta Sardi, sang pengawal Bung Karno untuk membeli roti dengan memberikannya uang sebesar Rp5. Ketika itu harga satu buah roti sebesar Rp3,75. Sesaat setelah itu Bung Hatta menyantap roti tersebut.

Selain Bung Hatta, ada pula tokoh dari orang asing. Ia bernama Horst Henry Geerken, ekspatriat Jerman. Ia bertempat tinggal di Indonesia sekitar 18 tahun lamanya. Geerken berkata terdapat kenangan tersendiri terhadap brand bakery legendaris ini.

“Roti hanya ada menu roti tawar. Sopir kami harus mencarinya sampai ke Bogor yang berjarak 40 km dari Jakarta. Saat itu Tan Ek Tjoan merupakan satu-satunya toko roti yang menggunakan tepung impor,” demikian tulis Geerken di dalam memoar berjudul A Magic Gecko.

Seandainya saja Geerken mengetahui, pada tahun 1953 sudah berdiri cabang Tan Ek Tjoan di Jakarta.

Hal ini dipertegas pula oleh Ibu Wawa, seorang menantu Ton Bok Nio dari anak perempuan Tan Ek Tjoan.

“Pada tahun 1953 pertama kali membuka toko di kawasan Tamansari. Di daerah itu terdapat sebuah rumah keluarga yang besarnya cukup. Kemudian pindah ke kawasan Jalan Cikin Raya pada tahun 1995,” kisah Ibu Wawa.

Baca juga: Roti Djoen, Toko Roti Tertua di Yogyakarta

Perjalanan Saat Membangun Bisnis Bakery Legendaris Tan Ek Tjoan

Pedagang Tan Ek Tjoan menjangkau sudut pemukiman. Foto: Wikipedia.

Awal perjalanan merek Tan Ek Tjoan bermula dari Tan Ek Tjoan dan sang istri, Phoa Lin Nio memulai usaha roti di rumahnya yang sederhana namun memiliki area luas di Bogor.

Sejatinya, istrinyalah yang memiliki kemampuan handal dalam membuat roti. Sementara itu Tan memang cekatan dalam berbisnis. Sebuah kombinasi yang sempurna dari sepasang suami istri ini.

Perjalanan bisnis suami istri ini juga didukung oleh kepandaian melihat peluang dengan mengincar orang-orang asing sebagai konsumennya.

“Di kawasan Bogor ketika dahulu banyak orang Belanda yang bertempat tinggal di kota hujan. Hal ini mendukung perjalanan usaha roti untuk terus berkembang dengan baik,” kisah Ibu Wawa.

Selain populer di kalangan warga Belanda, Geerken juga mencatat roti Tan Ek Tjoan disukai oleh masyarakat Indonesia yang sudah menyerap gaya hidup barat, terutama di kalangan keturunan Tionghoa.

Baca juga: Roti Konde Bogor Ini Berdiri Sejak 1974, Seperti Apa Kisahnya?

Bakery Legendaris yang Menjadi Bisnis Keluarga

Gerobak Tan Ek Tjoan. Foto: Mojok.co.

Pada tahun 1950-an, Tan Ek Tjoan mangkat dan mewariskan usaha ke tangan istri. Ketika berada di bawah kendali sang istri inilah perputaran usaha justru semakin maju. Phoa terus memperluas jangkauan bisnis bukan hanya di Bogor, namun juga ke Ibukota, Jakarta.

Kawasan yang dipilih pun sangat strategis sesuai dengan target pasar Tan Ek Tjoan, yaitu daerah Cikini. Sama halnya seperti ketika mengawali bisnis di Bogor, di kawasan pusat Jakarta ini juga mudah ditemui kawasan permukiman elit yang dihuni oleh orang Belanda.

Delapan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1958, Phoa Lin wafat menyusul mendiang suami. Namun usaha bakery legendaris ini tidak berhenti. Sebab Tan Bok Nio bersama anak laki-laki yang bernama Kim Tamara alias Tan Kim Thay meneruskan bisnis keluarga ini.

Keduanya bertanggung jawab melestarikan kelangsungan usaha dari dua cabang yang sudah ada. Pertama, Tan Kim Thay mengambil pengelolaan di Jakarta, sementara Tan Bok Nio mengelola bisnis di Bogor.

Serupa dengan mendiang ayahnya, Tan Kim Thay tidak memiliki keahlian membuat roti namun ia sangat ahli dalam berbisnis. Bahkan kemampuan bisnisnya semakin kuat karena ia pernah menuntut ilmu ekonomi di Belanda. Di tangannya, bakery legendaris ini terus melangkah maju.

Kemajuan tersebut dapat dilihat secara kasat mata. Dari luas toko yang semula hanya seperempat dari total luas yang ada saat ini hingga memiliki pabrik sendiri.

Karena keuletannya itulah usaha roti legendaris ini terus berkembang dengan kemampuan untuk membeli tanah di sekitarnya dan memperluas area bisnis. Sementara itu toko di Bogor yang awalnya berada di Surya Kencana pindah ke Siliwangi. Kepindahan ini dengan pertimbangan semenjak dibangunnya tol Gadog, toko di Surya Kencana cenderung sepi.

Salah satu cara pemasaran yang dilakukan Tan Ek Tjoan adalah menggandeng pedagang keliling gerobak sebagai ujung tombak. Merekalah yang membawa produk sampai ke tangan orang-orang Belanda di sekitar daerah Cikini. Begitu pula di daerah lainnya meliputi Ciputat, Tangerang, Cinere sampai dengan Bekasi.

Tan Ek Tjoan Terus Melakukan Inovasi Bisnis

Ilustrasi toko Tan Ek Tjoan. Foto: Pingpoint.

Agar sebuah bisnis terus bertahan dan berkembang, maka diperlukan inovasi. Inilah yang dilakukan oleh keturunan Tan Ek Tjoan dengan terus mencari terobosan baru. Bukan saja pada varian menunya namun juga dari segi manajemen bisnis.

Jika awalnya hanya menjual roti tawar dan roti gambang yang keras, kini brand bakery legendaris ini juga memiliki menu roti bimbam yang lembut. Bahkan menu ini kini menjadi salah satu yang paling digemari.

Direktur operasional Tan Ek Tjoan, Kennedy Sutandi menyampaikan bahwa menu yang ada terinspirasi dari falsafah Yin Yang. Sementara itu Gambang yang bertekstur keras dan bimbam yang empuk mewakili sifat yang saling berhubungan sekaligus bertolak belakang. Namun kedua sifat ini jika bahu membahu akan saling membangun.

“Ditambah lagi, istri Pak Kim yang merupakan orang Belanda tidak begitu suka terhadap roti yang keras. Jadi dapat dikatakan apabila bimbam merupakan paduan berbagai unsur dari Indonesia, Eropa dan Tionghoa,” kata Kennedy.

Itulah kisah perjalanan bisnis bakery legendaris Tan Ek Tjoan. Pelajaran yang bisa diambil adalah konsistensi, inovasi dan terus menerus melakukan evaluasi sistem dan menu untuk terus bertahan.

Kisah dari toko roti legendaris ini semoga dapat menginspirasi Anda untuk turut mencoba melakukan hal yang sama. Selalu kembangkan kemampuan, pengetahuan, dan peralatan baking yang Anda miliki sebagai bekal usaha yang mumpuni ke depan.

Selain itu teruslah mencari sesuatu yang berbeda sehingga produk roti, kue, atau pastry Anda menonjol dibandingkan yang lain.

Terus semangat dan salam sukses!

 

1 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments