Peninggalan sejarah bukan hanya bisa ditemukan pada buku sekolah saja, sebab warisan kuliner pun dapat mengandung kisah dari masa lalu. Salah satunya roti kembang waru yang berasal dari era Mataram Islam di Yogyakarta.
Dilansir dari Inilah Jogja, pada zaman dahulu terdapat dua buah kerajaan besar yang sama-sama bernama Mataram. Pertama adalah Mataram Kuno, sementara kerajaan berikutnya yaitu Mataram Islam. Warisan yang paling terkenal dari Mataram Islam adalah menu bernama Roti Kembang Waru.
Sekilas Tentang Mataram Kuno dan Mataram Islam
Sebelum melangkah lebih jauh membahas tentang roti, mari sedikit mengulas apa perbedaan antara kedua kerajaan besar di Jogja pada abad ke-8 dan ke-16 ini. Secara umum keduanya dapat dibedakan dari sistem kepercayaan yang dianut oleh pemerintahannya.
Dilansir dari CNN Indonesia, Mataram Kuno berdiri di abad ke-8 menganut corak Hindu-Budha, sementara Mataram Islam ada di abad ke-16 bercorak keyakinan agama Islam. Era kejayaan Mataram Kuno terjadi di masa Dinasti Sanjaya dan Syailendra dengan kekuatan tempurnya yang sangat kuat. Peninggalan yang paling terkenal hingga kini adalah Prambanan dan Borobodur.
Sementara itu Kesultanan Mataram Islam adalah kerajaan dengan corak Islam terbesar di wilayah Nusantara khususnya di Jawa. Pada era kerajaan ini banyak dibangun pesantren, rumah ibadah, dan penerjemahan Alquran ke Bahasa Jawa. Kerajaan ini berpusat di Kotagede, Yogyakarta. Di pusat pemerintahan inilah kemudian berkembang roti kembang waru yang menjadi warisan kuliner sampai sekarang.
Sekelumit Sejarah Mengapa Dinamakan Roti Kembang Waru
Menurut beberapa sumber, ada kisah unik mengapa sebuah roti diberikan julukan kembang waru. Alkisah, di zaman dahulu ada area bernama Pasar Legi, di Kotagede yang banyak ditumbuhi pohon-pohon rindang. Mulai dari beringin, gayam, mentaok, dan talok. Di sela-sela pohon gayam itu ternyata ada pohon waru yang ikut berkembang besar dan tumbuh.
Pohon waru ini berbunga tapi belum pernah muncul buahnya. Dilansir dari Mojok, tanaman ini memang berjenis tumbuhan yang tidak produktif. Tak heran jika di zaman sekarang sudah semakin sedikit ditemukan pohon waru yang memiliki ciri khas warna coklat kemerahan.
Pada era Mataram Islam kala itu, juru masak sedang berusaha membuat menu baru. Akhirnya tercetus ide untuk membuat roti dengan cetakan yang menyerupai bentuk bunga waru. Pembuatan roti kembang waru pun dimulai sejak saat itu.
“Pola bunga waru lebih mudah dibuat dibandingkan jenis lain,” ujar Pak Basiran Basis Hargito yang akrab disapa Pak Bas. Ia adalah salah satu pengrajin roti kembang waru di kawasan Pasar Legi, Kotagede.
Roti Kembang Waru Mewarisi Filosofi 8 Laku
Selain dari bentuknya yang menyerupai bunga waru, ternyata roti dari era Mataram Islam ini juga mewarisi filosofi mendalam. Nilai dan makna ini diambil dari 8 sisi roti yang memiliki arti 8 laku. Harapan dari laku ini adalah jalan spiritual yang harus diambil seseorang saat menjadi pemimpin.
Ke delapan laku tersebut mewakili unsur alam seperti berikut:
- Bumi (tanah)
- Banyu (air)
- Bayu (angin)
- Geni (api)
- Surya (matahari)
- Rembulan (bulan)
- Bintang
- Mega (langit)
Kedelapan simbolisasi ini menjadi penting karena apabila seorang pemimpin mampu mengadopsinya, ia akan menjadi pemimpin yang mengayomi rakyat. Mulai dari bumi yang menjadi lambang memberi, air artinya tenang, angin yaitu manfaat, api adalah mampu menghadapi masalah, matahari melambangkan harapan, bulan artinya kesabaran, bintang melambangkan hati yang tangguh, kemudian langit adalah simbol semua makhluk akan kembali kepada Sang Pencipta.
“Ke delapan laku ini adalah kunci keseimbangan antara jagad gede dan jagad cilik,” lanjut Pak Bas.
Baca juga: Sekilas Sejarah Kue Natal dan Tahun Baru dari Berbagai Negara
Perubahan Di Zaman Sekarang
Seperti halnya perubahan era dari kerajaan menjadi bentuk negara republik, hal yang sama terjadi juga pada resep roti turun temurun. Roti dari era Mataram Islam ini tak pelak harus berhadapan dengan perubahan, salah satunya dari bahan baku. Jika di masa lalu roti ini menggunakan tepung ketan dan telur kampung, maka kini menggunakan tepung terigu dan telur ayam petelur.
Begitu pula aroma yang digunakan. Jika di masa lalu menggunakan daun pandan sebagai pewangi, maka sekarang menggunakan vanili. Akan tetapi walaupun terjadi perubahan tentu saja rasa khas roti tetap terjaga.
Misalnya saja pengrajin roti bernama Pak Kanthi yang mengolah roti dengan menggunakan tata cara tradisional. Ia masih mempertahankan arang sebagai sumber api kompor, bukan minyak atau gas. Kemudian oven tradisional pun masih tetap digunakan untuk mengolah adonan hingga matang. Dengan begitu ia yakin warisan cita rasa akan tetap lestari sama seperti di masa lalu.
Roti Daerah yang Tetap Bertahan Hingga Kini
Walaupun saat ini banyak sekali jenis roti dan oleh-oleh Jogja yang ada di pasaran, namun Roti Kembang Waru selalu mendapatkan tempat tersendiri. Hal itu terlihat dari jumlah pesanan yang dapat mencapai 300 pcs setiap harinya.
Bukan cuma dijajakan di pasar, tapi masyarakat juga masih memesan roti dari era kerajaan berabad yang lalu ini saat acara khusus atau hari besar. Banyak orang yang masih menyukainya karena roti ini sangat empuk dilengkapi wanginya aroma yang menggelitik hidung. Selain itu rasanya yang cenderung manis dengan aneka varian rasa semakin membuat roti ini semakin diminati.
Harganya pun sangat terjangkau karena untuk membeli satu buah roti kembang waru hanya membutuhkan uang sekitar Rp2,000 saja. Inilah yang membuat warisan roti sejak zaman Mataram Islam masih ada dan bertahan di era modern sekarang. Apabila Anda berkunjung ke Jogja, yuk cicipi roti yang berisi penggalan sejarah ini!
Baca juga: Perjalanan Sejarah Nastar di Indonesia, Ternyata dari Belanda!