Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, terutama di sektor makanan dan minuman (F&B).
Di tengah kenaikan biaya bahan baku, energi, dan logistik, tambahan pajak ini dipandang sebagai beban yang semakin memperberat langkah industri.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, mengungkapkan hal tersebut. Saat ini meski sektor F&B terus mencatatkan pertumbuhan, tantangan untuk mempertahankan keuntungan semakin besar.
Apalagi, daya beli masyarakat, khususnya dari kelompok menengah ke bawah, belum sepenuhnya pulih.
“Yang paling terdampak adalah kelas bawah, sedangkan kelas atas relatif tidak terlalu terpengaruh,” jelasnya dilansir dari CNBC Indonesia (13/11/24).
Beberapa Potensi Dampak Kenaikan PPN 12%
Jika PPN benar-benar dinaikkan, beberapa dampak signifikan yang mungkin terjadi adalah:
- Harga Produk Meningkat: Tambahan pajak akan membuat harga makanan dan minuman lebih mahal, sehingga potensi pembelian dari konsumen bisa menurun.
- Efisiensi Operasional: Banyak pelaku usaha diperkirakan akan mencari cara untuk menekan biaya. Salah satunya melalui otomatisasi proses produksi.
- Terbatasnya Ruang Inovasi: Biaya operasional yang meningkat dapat membatasi kemampuan industri untuk mengembangkan produk baru atau melakukan inovasi.
Adhi berharap pemerintah dapat mengkaji ulang rencana ini dan mempertimbangkan alternatif lain untuk meningkatkan penerimaan negara. Salah satu opsinya adalah memperluas basis pajak (ekstensifikasi PPN), yang dinilai masih memiliki potensi besar.
Strategi yang Dilakukan oleh Pelaku Industri F&B
Walaupun dibayangi tantangan jika kenaikan PPN 12% benar terjadi, pengusaha kuliner di Indonesia tidak tinggal diam. Banyak dari mereka yang melakukan strategi untuk menghadapi kenaikan tersebut.
Dilansir dari Kontan (22/11/24), Ismaya Group, Carl’s Jr. Indonesia, dan Wolfgang’s Steakhouse, berbagi pandangan serta strategi menghadapi kebijakan ini.
Presiden Direktur Ismaya Group, Cendyarani, optimistis menjaga loyalitas pelanggan melalui nilai tambah seperti rasa, pelayanan, dan suasana. Namun, penyesuaian harga tetap diperlukan untuk menjaga keberlanjutan operasional.
Rudy Salim dari Carl’s Jr. menekankan pentingnya komunikasi transparan terkait harga, sambil menawarkan diskon dan program loyalitas.
Selain itu, efisiensi operasional, seperti penggunaan teknologi manajemen restoran, menjadi kunci menghadapi lonjakan biaya.
Pengusaha juga meminta pemerintah memberikan insentif, seperti subsidi bahan baku atau potongan pajak. Meski perilaku konsumen mungkin berubah dalam jangka pendek, mereka yakin tren konsumsi restoran akan stabil kembali.
Kenaikan PPN menjadi 12% akan menjadi tantangan besar bagi sektor F&B. Dengan dukungan dari pemerintah, industri ini diharapkan tetap mampu bertahan dan terus berkembang di tengah situasi yang menantang.
Angin Segar: Makanan dan Minuman Tidak Kena PPN 12%
Meski ada rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, ternyata ada kabar baik bagi sektor makanan dan minuman.
Berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tahun 2021 dan PMK No. 116/PMK.010/2017, makanan dan minuman yang disajikan di restoran, hotel, rumah makan, warung, serta usaha katering tidak dikenakan PPN.
Hal ini mencakup makanan dan minuman yang dikonsumsi di tempat maupun yang dibawa pulang. Namun, penting dicatat bahwa kategori ini tetap menjadi objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai aturan yang berlaku.
Dengan adanya pengecualian ini, pelaku usaha di sektor makanan dan minuman dapat bernafas lega. Pelaku usaha tidak harus membebankan kenaikan pajak langsung kepada pelanggan, sehingga daya beli masyarakat di sektor ini dapat tetap terjaga.