Sejarah dan Fakta Unik Mie Ayam Wonogiri yang Perlu Kamu Tahu

mie ayam wonogiri
Foto: @drhaltekehalte.

Mie ayam mungkin bisa ditemukan di berbagai sudut Indonesia, dari gang kecil hingga pusat perbelanjaan. Namun, jika menyebut mie ayam Wonogiri, ada cerita panjang yang menyertainya.

Bukan sekadar kuliner, mie ayam ini adalah simbol perjalanan hidup, perpaduan budaya, dan semangat perantauan yang tak pernah padam.

Jejak Seorang Perantau Bernama Ratiman

Sejarah mie ayam Wonogiri tidak bisa dilepaskan dari nama Ratiman, seorang pemuda dari Tunggulrejo, Wonogiri, yang merantau ke Jakarta pada tahun 1963. Hidup di kampung yang tandus dan hanya bisa ditanami singkong membuatnya memutuskan mencari peruntungan di ibu kota.

Setelah bekerja serabutan selama hampir satu dekade, ia mendapat pekerjaan tetap di sebuah pabrik mi milik pengusaha Tionghoa di kawasan Pasar Baru, Jakarta.

Dari sanalah keterampilan meracik mi ia pelajari. Dengan bekal ilmu tersebut, Ratiman mulai berjualan mie ayam di waktu luang, mendorong gerobak kayu keliling Glodok. Mie ayam racikannya dikenal berkuah gurih, menggunakan bumbu rempah seperti jahe, ketumbar, dan kunyit, serta topping daging ayam dan bawang goreng melimpah.

Seiring waktu, usahanya berkembang. Ia kemudian menikahi istri mendiang pemilik pabrik dan mengelola usaha tersebut, sekaligus mengajak warga sekampungnya untuk ikut berjualan mie ayam di Jakarta.

Meski tidak kembali membuka usaha di kampung halaman, pengaruh Ratiman justru mengakar kuat di sana. Banyak warga Wonogiri yang terinspirasi membuka usaha serupa, baik di kampung maupun di kota-kota besar lainnya.

Maka tak heran, Wonogiri pun perlahan dikenal sebagai Ibu Kota Mie Ayam”, meskipun sebelumnya lebih identik dengan julukan Kota Gaplek.

Ciri Khas yang Bikin Mie Ayam Wonogiri Berbeda

Foto: Indira Tjokorda.

Tak hanya sejarahnya yang menarik, mie ayam Wonogiri juga punya beberapa keunikan tersendiri.

Salah satunya adalah tekstur mi yang lembek dan mudah putus, berbeda dari mie ayam pada umumnya. Hal ini bukan karena keliru dalam pengolahan, melainkan pilihan sadar dari para peraciknya yaitu didesain agar mudah dikunyah dan dinikmati oleh semua usia.

Bumbunya pun umumnya diracik secara tradisional, bukan dari produksi massal, sehingga setiap mangkok menghadirkan cita rasa rumahan yang otentik.

Menariknya lagi, di Wonogiri, mie ayam bukan cuma untuk makanan siang atau sore seperti kebanyakan daerah lain. Justru banyak warga yang menjadikannya sebagai menu sarapan.

Warung mie ayam buka sejak pagi, dan pemandangan orang makan mie ayam sambil bukanlah hal aneh di sana.

Selain itu, ada satu kesalahpahaman yang sering beredar: warna gerobak mie ayam dianggap menentukan rasa atau asal-usulnya. Padahal, warna biru, coklat, atau hijau lebih banyak ditentukan oleh preferensi pribadi atau faktor kepraktisan, bukan rahasia dapur.

Bentuk atau warna gerobak lebih ke arah penanda identitas kelompok pedagang, seperti dalam temuan skripsi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Ia meneliti Paguyuban Mie Ayam Donoloyo Wonogiri, di mana anggotanya menggunakan gerobak kayu jati lengkap dengan logo dan Kartu Tanda Anggota (KTA).

Mie ayam Wonogiri adalah bukti bahwa makanan bukan sekadar soal rasa, tapi juga cerita. Dari gerobak sederhana di pinggiran Jakarta, kini ia menjadi bagian dari identitas budaya yang dibanggakan.

Dan di balik semangkuk mie ayam, tersimpan kisah perjuangan, keberanian merantau, dan semangat berbagi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments