Harga Mahal Perang yang Berdampak Terhadap Industri Roti

Perang memang tidak pernah menyenangkan. Baik pemenang maupun pecundang tidak ada yang menjadi juara sejati, karena hanya akan ada kehancuran. Bahkan dampaknya dapat meluas. Salah satunya adalah harga mahal perang yang berdampak terhadap industri roti.

Perang yang terjadi di Rusia dan Ukraina bukan sekedar kontak senjata atau perdebatan di meja perundingan. Konflik yang ada bahkan dapat berdampak luas sampai ke industri roti, kue, mie, dan makanan lainnya.

Perusahaan yang Bertahan Walau Harus Membayar Harga Mahal Perang

harga mahal perang

Saat ini disinyalir terdapat banyak perusahaan roti dan makanan yang angkat kaki dari Rusia. Akan tetapi, masih ada beberapa diantaranya yang masih bertahan di daerah konflik.

Sebagaimana dilansir oleh bakeryandsnacks, masih ada beberapa perusahaan roti yang masih mencoba bertahan di tengah kondisi perang.

Contohnya British Bakels. Paul Morrow, selaku chairman menyampaikan jika perusahaannya akan terus beroperasi di Rusia.

“Kami memiliki pabrik di Saint Petersburg dan kantor di Moskow,” ujar Paul. Komitmennya untuk bertahan juga diperkuat oleh fakta bahwa perusahaannya telah beroperasi selama 50 tahun di negara tersebut.

“Kami secara resmi menetapkan posisi kami untuk terus berperan menjadi penyuplai bahan baku roti agar pengusaha dapat terus memberikan produknya kepada masyarakat luas. Maka, kami akan terus berproduksi di Rusia dan membantu sektor pangan warga Rusia; sebab bukan mereka yang menjadi sumber masalah.”

Di industri roti dan makanan pada umumnya, masih terdapat beberapa brand besar yang bertahan. Walaupun mereka harus membayar mahal harga perang dengan beroperasi di daerah konflik.

Mulai dari Dunkin Donuts, Mondelez, Nestle, PepsiCo, General Mills, Cargill dan jenama berskala internasional. Subway. Jika dihitung secara total, terdapat lebih dari 30 perusahaan besar yang tetap bertahan di Rusia, walaupun mereka harus mendapatkan tekanan besar.

Kisah brand yang rela membayar harga mahal perang adalah Dunkin Donuts. Brand ini sebelumnya sempat absen selama 11 tahun sebelum mereka kembali beroperasi di Rusia pada tahun 2010 silam. Saat ini perusahaan donat terkenal itu memiliki 21 waralaba di seantero Rusia.

Sementara itu Subway bahkan mencapai 450 waralaba. Mereka bersikukuh bahwa seluruh keuntungan juga dialokasikan untuk kemanusiaan.

Misi serupa juga diemban oleh Oreo.

“Sebagai perusahaan makanan, kami menunda kegiatan non-esensial di Rusia sembari membantu mempertahankan pasokan makanan di masa-masa berat ini,” ujar Dirk Van de Put, selaki CEO Oreo.

“Kami terus mendukung kolega kami di luar sana yang sedang menghadapi ketidakpastian ini. Kami memfokuskan diri pada pelayanan dasar, dan menghentikan sementara investasi modal baru dan periklanan.”

Langkah yang sama juga dilakukan oleh Nestle yang menghentikan tayangan iklannya di Rusia. Namun mereka tetap melanjutkan pasokan produk esensial di Rusia.

Boikot Besar Terhadap Rusia

harga mahal perang
Pemimpin Rusia, Putin. Foto: Google

Harga mahal dari perang juga dirasakan dari terjadinya boikot besar-besaran terhadap negara beruang merah tersebut. Terdapat lebih dari 100 perusahaan yang kini meninggalkan Rusia atau berencana pergi dari sana.

McDonald’s adalah salah satu brand f&b besar yang menutup sementara 850 gerainya di Rusia. Diikuti oleh Burger King, Papa John’s, Little Caesars, KFC sampai Pizza Hut.

Selain itu perusahaan minuman besar juga ikut melakukan langkah boikot ini. Sebut saja Unilever, Coca Cola, Heineken, dan Yorkshire Tea. Perusahaan-perusahaan besar ini menyatakan “terkejut dan sedih” atas perang yang terjadi. Mereka memutuskan untuk tidak lagi menjual produknya seiring dengan sanksi internasional yang dijatuhkan kepada Rusia.

Harga Mahal Perang Diikuti Gerakan Dukungan Kepada Pengungsi

Gambar pengungsi Ukraina menyeberang ke Polandia. Foto: Wiki

Walaupun begitu, perang yang terjadi juga membuat banyak pihak yang ingin membantu pengungsi. Contohnya saja Kellogs.

Perusahaan sereal raksasa ini mendonasikan $1 miliar kepada badan PBB yang menangani pengungsi dan The Global FoodBanking Network. Selain itu perusahaan ini juga mengirimkan bantuan makanan.

“Peristiwa tragis di Ukraina terus menciptakan krisis parah bagi penduduk di sana beserta keluarga, teman, dan orang-orang yang dicintai,” demikian pernyataan resmi Kelloggs.

“Kami bangga betapa keluarga besar Kelloggs bahu membahu dengan kebesaran hati untuk mendukung satu sama lain di masa-masa genting. Inilah bagian dari DNA kami. Contohnya, tim kami di Polandia dan Rumania telah menyiapkan akomodasi darurat untuk mengorganisir makanan dan peralatan kesehatan bagi mereka yang membutuhkannya.”

Krisis Gandum Global Juga Termasuk Harga Mahal Perang yang Harus Dibayar

Rusia dan Ukraina adalah dua negara yang menjadi lumbung gandum. Persediaan biji gandum itu bukan saja untuk Eropa, namun juga dunia. Tetapi harga mahal sebuah perang harus terwujud akibat konflik antar kedua negara itu.

Menurut Badan Makanan dan Agrikultur PBB (FAO), Rusia adalah eksportir gandum dunia teratas. Sementara itu, Ukraina adalah produsen terbesar ketiga setelah Cina dan India.

Jika perang berkelanjutan, petani tidak akan mampu menanam atau memanen di musim semi ini. Sementara itu pasokan gandum dari Ukraina dipastikan terhambat jika pasukan Rusia memblokade akses pelabuhan Odessa untuk menuju ke Laut Hitam.

Karena itulah brand besar tergerak untuk ikut berperan mengatasi krisis gandum global ini.

CEO daro Cereals Canada, Dean Dias bergerak untuk menutup kekurangan gandum dunia. Tindakan yang dilakukan adalah menjalankan industri non-profit agar stock gandum dapat terpenuhi.

“Kami berharap adanya resolusi damai di Ukraina agar penduduk bisa mendapatkan makanan,” ujar Dias.

“Itulah tujuan bisnis kami… untuk menyediakan makanan secara global. Dam kami berupaya keras bersama petani kami agar pelanggan dan juga negara lainnya terus memiliki persediaan makanan yang cukup.”

Perusahaan Kanada mampu memproduksi 12% persediaan gandum dunia dan mengekspornya ke 70 negara. Dias juga mengklaim gandum produksinya memiliki kualitas lebih baik dan lebih kaya protein dibandingkan gandum yang tumbuh di Rusia dan Ukraina. Akan tetapi dalam kondisi normal, harganya tentu saja lebih mahal.

Apakah Indonesia juga Harus Turut Membayar Harga Mahal Perang yang Terjadi?

Menurut Bhima Yudhistira, selaku Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), konflik Rusia dan Ukraina menyebabkan kenaikan harga pangan sampai ke Indonesia.

Sebagaimana dilansir oleh BBC.com, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Ukraina memasok 2,96 juta ton gandum atau setara dengan 27% dari total impor Indonesia sebesar 10,29 juta ton pada 2020.

Cepat atau lambat, harga gandum yang lebih tinggi akan berdampak pada Indonesia, kata Bima. Gandum merupakan bahan baku mie instan, tepung terigu dan makanan lainnya.

Indonesia sendiri merupakan konsumen mie instan terbesar kedua di dunia, dengan total 12,6 miliar porsi pada tahun 2020.

“Akibatnya harga bisa naik, berat bersih produk bisa turun, atau kualitas bisa turun,” kata Bhima kepada BBC Indonesia News..

“Namun mie instan juga dikonsumsi oleh kalangan menengah ke bawah, sehingga kenaikan harga 1.000 rupiah saja pasti terasa,” ujarnya.

Meski Indonesia dapat mencari alternatif penghasil gandum untuk memenuhi kebutuhan gandumnya, Bhima mengatakan proses tersebut akan memakan waktu.

Pada saat yang sama, harga gandum akan terus mengacu pada harga global, dan kenaikan tidak dapat dihindari.

Harga gandum dunia naik 5,35% menjadi $9,84 atau sekitar Rp 141.373 per gantang setelah invasi Ukraina. Level tertinggi sejak 2008.

Harapan yang Ada

Melihat dampak perang yang ada, masih terselip harapan besar. Harga mahal perang yang harus dibayarkan oleh industri makanan terkait dengan gandum ini dapat berakhir asalkan konflik segera usai.

Adhi S. Lukman, selaku Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman menjelaskan kenaikan harga gandum bergantung berapa lama invasi Rusia terhadap Ukraina terjadi. Semakin cepat berakhir, semakin kecil dampaknya.

“Industri sebenarnya masih memiliki stok bahan baku dan barang jadi. Jadi industri tidak serta merta langsung menaikkan harga karena harga spot naik,” kata Adhi dikutip dari Kompas.com.

Bhima percaya bahwa pemerintah Indonesia dapat mengambil banyak langkah untuk mengurangi dampak ekonomi dari perang Rusia-Ukraina di negara itu.

Misalnya dengan meningkatkan dana kompensasi kepada Pertamina dan PLN agar harga BBM dan tagihan listrik dasar tidak naik hingga akhir tahun.

“Kekuatan APBN sebenarnya cukup karena saat ini pemerintah diuntungkan dari peningkatan penerimaan negara dari batu bara dan sawit yang diperkirakan Rp 111 triliun, sehingga bisa disubsidi silang,” jelasnya.

Baca juga ulasan mendalam lainnya:

Peran Robot di Industri Roti dan Kue. Ancaman atau Peluang?

Bagaimana Cara Membangun Toko Donat Sendiri dari Awal

Ingin Membuka Bisnis Roti dari Rumah? Simak Tips-Tips Ini!

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments